Firmansyah,SH.MH

Hasto Tetap Narapidana, Tom Lembong Bersih

Oleh: Firmansyah, S.H., M.H. Praktisi Hukum dan Pengamat Kebijakan Publik

PEMBERIAN amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong menjadi sorotan publik yang menarik untuk dianalisis secara hukum dan politik. Keduanya merupakan produk dari hak prerogatif Presiden, namun memberikan konsekuensi hukum yang sangat berbeda.

Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap, dan kemudian memperoleh amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Di sisi lain, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang dijatuhi vonis 4,5 tahun dalam kasus impor gula, justru memperoleh abolisi dari presiden yang sama.

Secara yuridis, amnesti dan abolisi memang sama-sama berasal dari hak prerogatif presiden. Namun, secara substantif, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam konsekuensi hukum.

Amnesti adalah bentuk pengampunan yang menghapus akibat pidana terhadap seseorang, baik sebelum maupun sesudah dijatuhkan vonis. Tapi amnesti diberikan kepada orang yang sudah melakukan tindak pidana tertentu dan tetap mengakui bahwa pelanggaran hukum pernah terjadi. Dalam konteks ini, Hasto tetap berstatus sebagai narapidana yang mendapatkan pengampunan. Rekam jejak hukum tetap ada dan menjadi bagian dari sejarah hukumnya.

Sedangkan abolisi memiliki cakupan lebih luas dalam menghapus jejak hukum seseorang. Abolisi dapat menghentikan proses hukum, bahkan meski sudah ada vonis pengadilan. Artinya, abolisi menempatkan seseorang seolah tidak pernah menjalani proses hukum atau tidak pernah bersalah. Dalam kasus Tom Lembong, abolisi menghapus seluruh jejak hukumnya sehingga ia tidak berstatus sebagai narapidana.

Fakta bahwa Tom Lembong dituntut 7 tahun penjara dalam kasus impor gula, namun kemudian menyampaikan pembelaan bahwa ia tidak memiliki mens rea atau niat jahat, menjadi pertimbangan penting. Ia juga menyatakan bahwa tuntutan jaksa tidak sesuai dengan fakta persidangan. Argumen ini menjadi bagian dari pembenaran abolisi yang diterimanya.

Situasi ini menimbulkan kesan kontras. Hasto, yang divonis lebih ringan, tetap berstatus narapidana meski diampuni. Sementara Tom Lembong, dengan vonis lebih berat, tidak menyandang status tersebut karena abolisi.

Dari sudut pandang publik, perbedaan ini tentu dapat menimbulkan tafsir politis. Apalagi mengingat keduanya berasal dari latar belakang politik yang berbeda. Namun sebagai bangsa hukum, penting untuk menempatkan analisis ini pada koridor konstitusional dan prinsip keadilan substantif.

Amnesti dan abolisi memang hak prerogatif presiden. Namun ke depan, transparansi dan alasan pemberiannya perlu dijelaskan secara terang benderang agar kepercayaan publik terhadap keadilan hukum tidak luntur. Dalam negara hukum, tidak cukup sekadar sah menurut aturan tapi juga harus adil dalam praktiknya.(**)