MEEPAGO.COM-Aktivis Yan Christian Warinussy merespon sikap mahasiswa Universitas Papua (Unipa) menolak kuliah umum oleh Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tonny Wenas di Aula Unipa, Manokwari, Jumat (25/4/2025) lalu.
Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua itu mengatakan, sikap penolakan mahasiswa merupakan akumulasi kekecewaan orang Papua atas kehadiran Freeport di Bumi Cenderawasih yang justru mendatangkan berbagai malapetaka.
“Lebih dari 50 tahun Freeport mengelola sumber daya alam Papua yang begitu besar, tetapi juga berbagai persoalan terjadi. Karena itu, penolakan semacan ini merupakan akumulasi dari kekecewaan,” kata Warinussy kepada Papuadaily, Rabu (30/4/2025).
Menurutnya, mahasiswa sebagai anak muda Papua menyadari betul bahwa kehadiran Freeport tidak membawa kemaslahatan bagi orang Papua secara umum, terutama masyarakat adat di sekitar perusahaan itu.
“Dimana-mana masih terjadi pengangguran, kemiskinan, bahkan kemiskinan ekstrim di Papua,” ucapnya.
Secara khusus di bidang pendidikan, Warinussy menyebut dukungan Freeport selama ini tidak membawa perubahan yang berarti di tanah Papua. Jikapun ada, menurutnya, itu tidak sepadan dengan kerusakan yang ditimbulkan Freeport selama ini.
“Sehingga apa yang dilakukan mahasiswa, dalam kapasitas saya sebagai advokat dan pembela HAM di Papua, cenderung mengatakan bahwa saya sependapat dengan sikap mahasiswa Unipa,” tandasnya. “Mereka mungkin di antara sebagian besar masyarakat Papua yang tidak bisa bersuara. Suara mereka paling tidak mewakili mereka yang mengalami ketertindasan selama ini,” lanjutnya.
Sebelumnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Papua (UNIPA) menolak kuliah umum yang menghadirkan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia di Aula UNIPA, Manokwari, Jumat 25 April 2025.
Koordinator aksi, Agus Nahabial, mengatakan penolakan dilakukan karena belum ada kajian menyeluruh mengenai dampak buruk PT Freeport terhadap lingkungan dan masyarakat adat, khususnya suku Amungme dan Kamoro. Ia menilai kegiatan ini justru mengesankan legitimasi terhadap perusahaan yang tidak memberikan kesejahteraan secara merata di tanah Papua.
“Kalau benar-benar ingin memajukan pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi, seharusnya tidak hanya menggandeng satu universitas. Harusnya seluruh masyarakat Papua, baik di sektor swasta maupun negeri, termasuk Orang Asli Papua (OAP), mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dari PT Freeport Indonesia,” tegas Agus (***)