Firmansyah,SH.MH

Masyarakat Dibohongi dengan Istilah “Dinonaktifkan” Anggota DPR

Oleh: Firmansyah, SH, MH *

KEPUTUSAN  partai politik menggunakan istilah “dinonaktifkan” terhadap anggotanya di DPR RI jelas menyesatkan publik. Dalam sistem keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat, tidak pernah dikenal mekanisme nonaktif. Yang ada hanyalah diberhentikan atau ditarik.

Penggunaan istilah “dinonaktifkan” seolah-olah hanya trik untuk meredam kemarahan masyarakat terhadap anggota DPR tertentu yang sedang bermasalah. Padahal, kenyataannya, proses itu tidak punya konsekuensi hukum apa pun. Setelah dinonaktifkan, anggota DPR bisa saja diaktifkan kembali oleh partai kapan saja.

Mekanisme resmi sudah sangat jelas. Anggota DPR diberhentikan bila masa jabatannya selesai atau karena adanya pelanggaran yang diatur undang-undang. Sementara penarikan dilakukan partai bila ada kepentingan politik tertentu, misalnya memindahkan kader ke posisi lain. Kedua mekanisme itu diatur melalui prosedur formal yang sah.

Sebaliknya, istilah nonaktif tidak memiliki dasar hukum dalam tata kelola DPR. Ini hanya bahasa politik yang membingungkan dan menipu publik. Masyarakat digiring untuk percaya seolah-olah ada sanksi tegas, padahal sebenarnya nihil.

Dengan demikian, penggunaan istilah nonaktif terhadap anggota DPR bukan sekadar kekeliruan, melainkan bentuk kebohongan politik yang merendahkan kecerdasan rakyat. Jika partai politik serius menegakkan akuntabilitas, mereka seharusnya menggunakan mekanisme resmi: pemberhentian atau penarikan. Bukan sekadar memainkan kata untuk menutupi kepentingan. (Penulis : Pendiri Yayasan Penegak Keadilan Papua Tengah).(**)