MEEPAGO.COM-Potensi emas yang sedang dikeruk satu perusahaan di kampung Ajuda muara kali Walai, Sewa, dan Ular Merah, perbatasan Kabupaten Waropen, Papua, dan Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, harus segera ditindak tegas. Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) tak boleh dibiarkan karena akan mengancam kelestarian lingkungan, hak-hak masyarakat adat, dan masa depan generasi penerus.
Penegasan tersebut dikemukakan Thobias Bagubau, anggota DPRP Papua Tengah, Sabtu (22/3/2025) menanggapi masifnya aktivitas perusahaan ilegal di tengah hutan sejak beberapa waktu lalu.
“Aktivitasnya tanpa izin resmi dan melanggar peraturan yang berlaku, tetapi sudah menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah, menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi di sana. Ini sama halnya dengan penambangan emas ilegal di sepanjang sungai Degeuwo sejak tahun 2001 hingga 2024. Saya tegaskan, bahwa sudah saatnya pemerintah dan semua pihak terkait mengambil langkah tegas untuk menghentikan praktik ini sebelum dampaknya semakin tidak terkendali,” ujarnya.
Data awal, kata Bagubau, penambangan ilegal di muara kali Walai dan sekitarnya telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Apalagi tanpa menggunakan teknologi ramah lingkungan, aktivitasnya mulai mencemari air, merusak tanah, dan menghancurkan keanekaragaman hayati.
“Penggunaan merkuri dalam proses penambangan emas tidak hanya mencemari sungai dan sumber air, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat sekitar. Situasi ini mirip dengan penambangan emas liar di distrik Bayabiru, kabupaten Paniai, yang telah berlangsung bertahun-tahun di sepanjang sungai Degeuwo. Padahal, air adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat yang bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Kata Thobias, yang lebih memprihatinkan lagi karena aktivitas dilakukan tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
“Berarti tidak ada upaya untuk memprediksi dampak jangka panjang dari penambangan ilegal itu. Kalau dibiarkan, kerusakan lingkungan akan menjadi bencana ekologis yang sulit dipulihkan.”
Selain itu, ia sebutkan dampak lainnya adalah menciptakan masalah sosial dan ekonomi yang kompleks.
“Pihak perusahaan menawarkan uang sebesar satu miliar rupiah kepada masyarakat setempat agar mendapatkan akses ke lahan tambang. Tetapi uang tersebut hanya bersifat sementara dan tidak memberikan solusi jangka panjang bagi perekonomian masyarakat,” lanjut Bagubau.
Kehadiran perusahaan itu juga tidak menciptakan lapangan kerja berkelanjutan. Pekerja lokal yang terdesak oleh keterbatasan pilihan ekonomi, terjebak dalam kondisi kerja yang buruk tanpa jaminan kesehatan atau keselamatan. Alih-alih membawa kesejahteraan, penambangan ilegal justru memperburuk ketimpangan sosial dan meminggirkan masyarakat adat dari hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam.
Thobias bilang lemahnya penegakan hukum merupakan satu akar masalah dari maraknya penambangan ilegal. Meski ada Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batubara (Minerba) yang mengatur sanksi bagi pelaku penambangan ilegal, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan.
“Pasal 158 dalam Undang-undang itu menyatakan, “pelaku penambangan tanpa izin dapat dipidana dengan penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar”. Tetapi sejauh ini belum ada tindakan tegas yang terlihat terhadap perusahaan ilegal yang beroperasi di kampung Ajuda.”
Selain itu, lokasi penambangan yang terpencil dan sulit dijangkau menjadi tantangan tersendiri bagi aparat hukum. Kurangnya infrastruktur transportasi dan komunikasi membuat pengawasan menjadi sulit dilakukan. Hal ini membutuhkan koordinasi yang kuat antara pemerintah provinsi, kabupaten, pihak keamanan, dan masyarakat adat.
“Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang konkrit dan berkelanjutan,” ujar Thobias.
Legislator dari Fraksi Hanura itu usulkan beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan para pihak.
Pertama, penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Pemerintah harus menindak tegas pelaku penambangan ilegal sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ini termasuk menghentikan operasi perusahaan ilegal, menyita alat-alat yang digunakan, dan menjatuhkan sanksi hukum yang berat.
Kedua, dialog dengan masyarakat adat. Pemerintah perlu berkomunikasi langsung dengan masyarakat adat di kampung Ajuda, Sewa, dan Ular Merah. Aspirasi mereka harus didengar, dan perlu diberikan pemahaman tentang dampak negatif penambangan ilegal. Masyarakat adat harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.
Ketiga, penguatan peraturan daerah (Perda). Perlu adanya penguatan Perda atau peraturan daerah khusus (Perdasus) yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Peraturan ini harus memastikan bahwa kekayaan alam tidak dieksploitasi secara sembarangan, tetapi dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Keempat, peningkatan pengawasan dan aksesibilitas. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan di daerah-daerah terpencil dengan memperbaiki infrastruktur transportasi dan komunikasi. Ini akan memudahkan aparat hukum untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum.
Kelima, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal: Pemerintah harus menciptakan alternatif ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal, seperti pengembangan sektor pertanian, pariwisata, atau industri kreatif. Ini akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada penambangan ilegal.
Thobias menyatakan, eksploitasi pertambangan ilegal di muara kali Walai dan sekitarnya adalah masalah serius yang membutuhkan tindakan segera. Jika dibiarkan, kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan akan semakin parah dan sulit dipulihkan.
“Pemerintah bersama dengan masyarakat adat dan pihak terkait lainnya harus bersatu untuk menghentikan praktik ilegal ini. Penegakan hukum yang tegas, penguatan peraturan, dan pemberdayaan masyarakat lokal adalah kunci untuk mengatasi masalah ini. Sudah saatnya kita bertindak sebelum semuanya terlambat. Alam dan masyarakat adat Papua Tengah layak mendapatkan perlindungan dan keadilan,” tegasnya.(***)